KERIS NAGA RAJA
Keris dapur naga raja luk 11
Pamor bendo segodo
Tangguh Mataram amangkurat
Warangka gayaman pendok blewah ,mendak
asal usul pusaka
pusaka hasil tirakatan di makam kiageng getas pandawa ( grobogan)
rangka kami beli second karena waktu penemuan pusaka cuma bilah saja
Sekilas Mengenai keris naga raja
Konon pada jaman dahulu ( DEWI belum lahir ) Di wilayah majapahit
Langit terlihat begitu cerah di hari itu. Sang surya seakan-akan
begitu lepas membagi panas tubuhnya kepada semua kawula di desa
Sonokeling. Namun, apapun keadaannya, penduduk harus tetap melaksanakan
dharma yang harus dilaksanakan. Petani harus pergi ke sawah. Pedagang harus bekerja di pasar. Para
blandhong harus pergi ke hutan mencari kayu.
Among kisma harus mencari bahan baku untuk dibuat menjadi gerabah. Para
cantrik
harus menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh gurunya di
padepokan yang berada di sebelah utara desa itu. Tak terkecuali juga
empu yang bertugas untuk membuat keris dan senjata-senjata lainnya.
Desa Sonokeling memiliki seorang empu yang tersohor seantero
Majapahit. Setiap kali keraton ingin membuat pusaka, maka pasti pesanan
akan jatuh kepada empu Panimbal di desa Sonokeling. Menurut cerita yang
beredar, setiap pusaka yang dibuat oleh empu Panimbal pasti memiliki
kekuatan yang jauh di luar nalar manusia. Konon kabarnya, ada sebuah
keris yang jika orang memegangnya, maka sang pemegang itu tidak akan
terluka oleh serangan senjata apapun. Ada pula cerita yang menerangkan
kalau keris buatan empu Panimbal mampu untuk membuat sang pemilik tidak
basah terkena air. Bahkan salah satu pusaka Majapahit buatan empu
Panimbal yang bernama Kanjeng Kyai Ageng Naga Raja, kabarnya memiliki
kekuatan yang mampu membuat lawan tidak dapat bergerak dalam jarak
sepuluh ribu
depa. Setiap keris itu dicabut oleh raja, maka
gemuruh langit akan menyertainya. Hembusan angin laksana badai juga akan
menyambutnya. Sungguh suatu pusaka yang amat sakti.
Boleh dikatakan, Kanjeng Kyai Ageng Naga Raja merupakan satu-satunya keris terbaik yang pernah dihasilkan oleh empu Panimbal.
Menurut cerita, setelah keris tersebut selesai dibuat, terjadilah
suatu keanehan. Ketika utusan raja Majapahit tiba untuk mengambil keris
tersebut, ternyata
kendhaga tempat menyimpan keris pusaka itu
tidak dapat diangkat oleh sang empu. Bahkan ketika dibantu oleh para
prajurit pun, kendhaga tersebut hanya diam.
“Tuanku sang Empu, bagaimana ini. Ternyata
kendhaga ini tidak bisa diangkat?”, tanya sang utusan dari Majapahit.
Sambil bersikap menyembah dengan mengatupkan kedua tangan, sang empu berkata dengan takzim.
“Maafkan hamba tuan. Kejadian ini tidak seperti biasanya. Ijinkan hamba untuk mencari tahu penyebabnya.”
Sang empu kemudian duduk bersila di depan
kendhaga itu. Mengheningkan cipta dan memohon petunjuk kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan mengucap mantra-mantra suci.
Tiba-tiba kendhaga tempat menyimpan keris itu mengeluarkan asap putih
tebal membumbung ke atas dan memenuhi pendhapa rumah sang empu. Bau
harum bunga melati langsung tercium oleh semua orang yang berada di
situ. Bersamaan dengan hilangnya asap putih itu, muncul sosok naga dari
dalam
kendhaga itu. Seekor naga dengan memakai mahkota raja. Bersisikkan emas gemerlapan, dengan mata yang bersinar seperti berlian.
Sang empu menyembah hormat kepada naga tersebut diikuti oleh semua orang yang hadir di pendhapa itu.
“Tuanku, terimalah sembah sujud hamba kepada paduka.”
Naga itu hanya menjawab salam dari empu Panimbal dengan geraman yang
mengerikan. Pandangannya menuju kepada semua orang yang hadir di
pendhapa
itu.
“Maaf, Tuanku. Apakah kiranya paduka tidak berkehendak kami boyong ke
keraton Majapahit?”, pertanyaan muncul dari pemimpin utusan itu yang
tak lain adalah Rangga Wirun.
Tiba-tiba tubuh naga itu berpendar mengeluarkan cahaya berwarna
kehijauan. Lamat-lamat sosok naga itu badar menjadi sesosok tubuh
manusia. Tubuh seorang manusia yang telah senja. Rambutnya yang telah
berwarna kapur dengan jenggot lebat seperti helaian rambut di kepalanya
semakin menambah kesan itu. Sorot matanya tajam. Wajahnya menyinarkan
bentuk keanehan namun terkesan teduh dan damai. Kesan sebagai seorang
begawan. Hal tersebut semakin tegas terlihat dari balutan busana yang dikenakannya yang berwarna putih.
Tiba-tiba orang tua itu tertawa. Tertawa terkekeh-kekeh.
“Cucuku, adakah sesuatu yang kalian lupakan?”, tanya sang kakek tersebut kepada semua yang ada di dalam pendhapa.
Empu Panimbal dan Rangga Wirun pun tak mengerti apa yang dimaksudkan
oleh sang kakek itu. Mereka saling berpandangan dan bertanya dalam hati.
“Cucuku, setiap benda di dunia ini mempunyai nama. Akan kalian sebut apakah aku ini?”
Mulai mengertilah empu Panimbal akan apa maksud dari kakek jelmaan naga itu.
“Maafkan hamba tuan. Sebenarnya hamba hendak memberikan
tetenger kepada paduka. Tapi hamba takut, jika
tetenger
itu tidak sesuai dengan kehendak paduka. Hingga akhirnya hamba lupa
teramat sangat untuk memikirkan masalah itu sampai, beliau Tuanku Rangga
Wirun datang hendak mengambil paduka untuk raja Majapahit, Prabu
Girindra.”
“Hmm…”, kakek tua jelmaan naga itu mengusap jenggotnya. Matanya menerawang jauh ke halaman pendhapa.
“Panggil aku Naga Raja saja”
“Aku bersedia mengikuti sang prabu. Tapi aku mempunyai syarat yang harus dipenuhi.”
Empu Panimbal terkejut dengan pernyataan orang tua yang disebut Naga Raja itu.
“Apakah gerangan yang harus saya lakukan paduka?”
“Aku minta seseorang yang membawa keris ini tidak akan pernah melakukan perbuatan yang melawan
dharma.
Jika sang pembawa keris ini melanggar syarat yang aku ajukan, maka
kutukan yang mengerikan dari dewata akan menghinggapi pemegang keris
ini. Apakah kalian sanggup?”
Empu Panimbal dan Rangga Wirun kembali saling berpandangan.
“Baik tuanku paduka. Kalau itu yang menjadi kehendak tuan.”, Empu Panimbal menjawab sambil menghormat di depan orang tua itu.
Seketika itu sosok tua tersebut kemudian menghilang. Berubah menjadi
asap yang lama-kelamaan masuk tersedot di dalam kendhaga tempat
menyimpan keris yang kemudian disebut dengan keris pusaka Kanjeng Kyai
Ageng Naga Raja.
Empu Panimbal kemudian berdiri dan mengangkat
kendhaga itu untuk kemudian diserahkan kepada Rangga Wirun.
Rangga Wirun menerima kotak itu, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah tandu untuk dibawa ke kota raja.
“Tuan, kiranya tugas saya telah selesai. Ijinkan saya untuk pamit
mundur kembali ke kota raja.”, sambil membungkuk hormat, Rangga Wirun
mengatupkan kedua tangannya kepada empu Panimbal.
“Baik. Silakan tuan. Tugas hamba pun telah selesai. Haturkan salam saya kepada paduka raja yang mulia Prabu Girindra!’
“Sebelum saya pamit, paduka raja telah menitipkan titah kepada tuan empu. Kiranya tuan empu bersedia untuk mendengarkan.”
Sontak kaget dan tergagap sang empu menjawab permintaan dari Rangga
Wirun. Tidak biasanya sang prabu mengeluarkan titah untuk keris
pesanannya.
Empu Panimbal kemudian duduk bersila dengan takzimnya, sambil
menyembah mengatupkan kedua tangan di depan mukanya. Rangga Wirun lalu
membuka lipatan lontar yang telah berstempelkan kerajaan Majapahit.
Kemudian membacakanya didepan empu Panimbal.
tiada tuyul yg tak botak tiada gading yg tak retak kalau kurang mohon di maafkan kalau lebih mohon di kembalikan
salam budaya DEWI KENCONO WUNGU
Aum awighnam astu
Kepada kawulaku Panimbal di Sonokeling
Aku Prabu Girindra raja Majapahit Agung memutuskan untuk
mengangkatmu menjadi pangeran di lingkungan kerajaan Majapahit Agung,
dan menjadi pemimpin para empu serta pandai besi di seluruh daerah
Majapahit.
Sejak keputusan ini dibacakan, engkau berhak untuk menikmati
hak-hak kepangeranan dan kewajiban untuk sowan di hadapanku setiap bulan
Caitra.
Demikian titahku, semoga engkau mematuhi.
Raja Majapahit Agung
Prabu Girindra Raja Triloka Bhuwana
Keringat dingin membasahi tubuh empu Panimbal demi mendengar
kata-kata yang keluar dari Rangga Wirun sebagai wakil dari sang prabu.
Selama hidupnya, tidak pernah dia membayangkan menjadi pemimpin para
empu dan pangeran. Suatu jabatan yang sungguh menggiurkan. Namun, di
balik itu semua tersisip suatu tanggung jawab yang maha besar yang
membuat bulu kuduknya merinding. Ingin rasanya dia menolak anugerah itu,
tetapi apakah sang prabu tidak menjadi murka nantinya. Semua rasa
bercampur aduk di dalam hati sang empu Panimbal.
Selesai membaca Rangga Wirun melipat kembali lontar itu dengan takzim
dan memasukkanya kembali di dalam kotak. Kemudian menyerahkan kotak
tersebut kepada empu Panimbal yang lalu diterimanya dengan sikap yang
tidak kalah takzimnya.
“Tuan empu Panimbal. Sang Prabu mengharapkan tuan datang untuk sowan
dalam tiga hari ke depan. Sang Prabu akan membicarakan beberapa hal yang
penting berkaitan dengan masa depan Majapahit ini. Saya juga akan
melaporkan segalanya yang terjadi di sini kepada sang Prabu. Semoga
pusaka ini memang benar-benar pusaka yang dapat membawa kebaikan kepada
seluruh kawula Majapahit.
Mengenai pamor bendo segodo
BENDO SAGODO, pamor yang gambarnya merupakan bentuk gumpalan yang
mengelompok rapat, masing masing gumpalan terpisah jarak 0.5 cm – 1 cm
dan tergolong pamor rekan. Tuahnya gampang mencari rezeki dan pamor ini
tidak pemilih.
Semuanya atas kehendak allah